Senin, 25 April 2016

Budaya Melayaran di Suku Sasak



Melayaran merupakan bentuk budaya daerah yang berupa kebiasaan atau tradisi suatu yang dilakukan oleh masyarakat sasak yang bersifat religi dan mengandung nilai sosial. Tradisi melayaran berkembang dari pengaruh islam . waktunya ketika sudah nyiwak (9) atau Sembilan hari setelah meninggalnya si mayit .adat atau tradisi selama lima minggu,maksudnya 5kali dalam 5 minggu. Agar dapat dimengerti maksudnya 1kali dalam seminggu dan waktunya adalah khusus waktu subuh (setelah selesai shalat subuh). Adat/tradisi melayaran tersebut tidak boleh dilakukan pada waktu selain subuh,misalkan zuhur, asar, magrib maupun isya .berbeda halnya dengan roah atau selamatan biasa lakukan kapan saja.
Melayaran tersebut dilakukan 5 minggu berarti kurang lebih selama 40 hari, setelah meninggalnya jenazah tersebut selama 40 hari maka masyarakat suku sasak mengistilahkannya dengan sebutan metang dase( 40 hari setelah meninggalnya seseorang). Di suku sasak juga ada istilah nelong (3 hari setelah meninggal si manyit), mituk (7 hari setelah meninggal), nyiwak (9 hari setelah meninggal) dan nyatus (100 hari setelah kematian seseorang). masing-masing istilah tersebut di isi dengan ROAH (memberikan/mengirimkan do’a kepada seseorang yang telah meninggal.
Tradisi melayaran dilaksanakan pada waktu sehabis shalat subuh di pesantren ataupun dirumah duka ( yang melakukan melayaran ). Dimana para keluarga yang melakukan tradisi melayaran menyiapkan makanan atau sajian kepada para undangan. Yang menjadi sajian khas dari tradisi melayaran ini adalah ketupat dicampur dengan rendang ataupun urap-urap. Terkadang juga di tambah dengan makanan “bantal” ( beras ketan yang dicampur pisang atau pun kacang-kacangan yang di bungkus dengan daun kelapa ).
Adat melayaran ini sebenarnya sama prosesinya dengan (roah) yang di awali dengan tahlilan dzikir dan kemudian sebagai penutupnya do’a bersama yang dikhususkan untuk si mayit Tapi yang membedakan istilah melayaran ini dengan istilah nelong,mituk,nyiwak,meta ng dase dan nyatus adalah seperti yang sudah di jelaskan di atas tadi.yang membedakannya hanyalah waktu pelaksanaannya yang di lakukan pada waktu subuh, itulah yang membedakan istilah melayaran dengan istilah-istilah yang lain dalam masyarakat suku sasak.
Tradisi melayaran mengandung nilai-nilai  , Nilai yang terkandung dalam adat melayaran yakni nilai sosial dan nilai religi, letak nilai sosial dalam adat melayaran ini adalah keikutsertaan masyarakat di dalam membantu adat melayaran ini seperti masyarakat yang membantu membuat makanan yang akan disajikan untuk melayaran, karena yang menjadi cirri khas dari adat melayaran ini adalah dilakukan pada waktu sehabis shalat subuh dan yang menjadi makanannya adalah ketupat , bantal (beras ketan yang campurkan pisang atau kacang-kacangan yang dibungkus dengan daun kelapa)
Selain nilai sosial , nilai yang terkandung pada adat melayaran ini adalah nilai religi. Letak nilai religi pada adat melayaran ini adalah dengan adanya pembacaan tahlil,dzikir dan do’a,diharapkan agar pahala tahlilan dzikir dan do’a tersebut berlayar untuk membantu meringankan dosa-dosa yang telah diperbuat si mayit tersebut semasa hidupnya di dunia.
Makna yang terkandung didalam tradisi melayaran yakni tentang sedakah yang artinya tidak akan berkurang harta yang disedekahkan tetapi akan bertambah, bertambah dan bertambah. Kemudian tentang silaturahmi: yang artinya barang siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rizkinya hendaklah ia menyambung silaturahminya. Dan makna tentang memuliakan tamu artinya barang siapa yang beriman kepada allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamu. Itulah makna yang terkandung didalam adat melayaran selain nilai religi dan sosial.

Sumber :
1.    Muhammad Dena ( sebagai narasumber pada hari sabtu, 21 April 2016, pukul 09.00 WIB )
2.    Buhori Muslim ( sebagai narasumber yang ke dua , pada hari minggu, 22 April 2016, pukul 09.00 WIB)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar